Pembantaian Rawagede
adalah peristiwa pembantaian penduduk Kampung Rawagede (sekarang
terletak di Desa Balongsari, Kecamatan Rawamerta, Kabupaten Karawang,
Jawa barat) oleh tentara Belanda pada tanggal 9 Desember 1947 sewaktu
melancarkan agresi militer pertama. Sejumlah 431 penduduk menjadi korban
pembantaian ini.
Ketika tentara Belanda menyerbu Bekasi,
ribuan rakyat mengungsi ke arah Karawang. Pertempuran kemudian berkobar
di daerah antara Karawang dan Bekasi, mengakibatkan jatuhnya ratusan
korban jiwa dari kalangan sipil. Pada tanggal 4 Oktober 1948, tentara
Belanda melancarkan pembersihan. Dalam peristiwa ini 35 orang penduduk
Rawagede dibunuh tanpa alasan jelas. Peristiwa inilah yang menjadi
inspirasi dari sajak terkenal Chairil Anwar berjudul Antara Karawang dan
Bekasi.
Jalannya Peristiwa
Di Jawa Barat, sebelum Perjanjian Renville ditandatangani, tentara
Belanda dari Divisi 1 yang juga dikenal sebagai Divisi 7 Desember
melancarkan pembersihan unit pasukan TNI dan laskar-laskar Indonesia
yang masih mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Pasukan Belanda yang
ikut ambil bagian dalam operasi di daerah Karawang adalah Detasemen 3-9
RI, pasukan para (1e para compagnie) dan 12 Genie veld compagnie, yaitu
brigade cadangan dari pasukan para dan DST (Depot Speciaale Troepen).
Sekitar 130.000 tentara Belanda dikirim
ke bekas Hindia Belanda, sekarang Indonesia. Dalam operasinya di daerah
Karawang, tentara Belanda memburu Kapten Lukas Kustario, komandan kompi
Siliwangi – kemudian menjadi Komandan Batalyon Tajimalela/Brigade II
Divisi Siliwangi – yang berkali-kali berhasil menyerang patroli dan
pos-pos militer Belanda. Di wilayah Rawagede juga berkeliaran berbagai
laskar, bukan hanya pejuang Indonesia namun juga gerombolan pengacau dan
perampok.
Pada 9 Desember 1947, sehari setelah
perundingan Renville dimulai, tentara Belanda di bawah pimpinan seorang
mayor mengepung Dusun Rawagede dan menggeledah setiap rumah. Namun
mereka tidak menemukan sepucuk senjata pun. Mereka kemudian memaksa
seluruh penduduk keluar rumah masing-masing dan mengumpulkan di tempat
yang lapang. Penduduk laki-laki diperintahkan untuk berdiri berjejer,
kemudian mereka ditanya tentang keberadaan para pejuang Republik. Namun
tidak satu pun rakyat yang mengatakan tempat persembunyian para pejuang
tersebut.
Pemimpin tentara Belanda kemudian
memerintahkan untuk menembak mati semua penduduk laki-laki, termasuk
para remaja belasan tahun. Beberapa orang berhasil melarikan diri ke
hutan, walaupun terluka kena tembakan. Saih, kini berusia 83 tahun
(meninggal 7 Mei 2011) menuturkan bahwa dia bersama ayah dan para
tetangganya sekitar 20 orang jumlahnya disuruh berdiri berjejer. Ketika
tentara Belanda memberondong dengan senapan mesin –istilah penduduk
setempat: “didrèdèt”- ayahnya yang berdiri di sampingnya tewas kena
tembakan, dia juga jatuh kena tembak di tangan, namun dia pura-pura
mati. Ketika ada kesempatan, dia segera melarikan diri.
Hari itu tentara Belanda membantai 431
penduduk Rawagede. Tanpa ada pengadilan, tuntutan ataupun pembelaan.
Seperti di Sulawesi Selatan, tentara Belanda di Rawagede juga melakukan
eksekusi di tempat (standrechtelijke excecuties), sebuah tindakan yang
jelas merupakan kejahatan perang. Diperkirakan korban pembantaian lebih
dari 431 jiwa, karena banyak yang hanyut dibawa sungai yang banjir
karena hujan deras.
Seorang veteran tentara Belanda yang
tidak mau disebutkan namanya dari desa Wamel, sebuah desa di propinsi
Gerderland, Belanda Timur mengirim surat kepada korban perang sebagai
berikut:
Dari arah Rawa Gedeh tentara Belanda
ditembaki. Maka diputuskanlah untuk menghajar desa ini untuk dijadikan
pelajaran bagi desa-desa lain.Saat malam hari Rawa Gedeh dikepung.
Mereka yang mencoba meninggalkan desa, dibunuh tanpa bunyi (diserang,
ditekan ke dalam air sampai tenggelam; kepala mereka dihantam dengan
popor senjata dll)Jam setengah enam pagi, ketika mulai siang, desa
ditembaki dengan mortir. Pria, wanita dan anak-anak yang mau melarikan
diri dinyatakan patut dibunuh: semuanya ditembak mati. Setelah desa
dibakar, tentara Belanda menduduki wilayah itu. Penduduk desa yang
tersisa lalu dikumpulkan, jongkok, dengan tangan melipat di belakang
leher. Hanya sedikit yang tersisa. Belanda menganggap Rawa Gedeh telah
menerima pelajarannya.Semua lelaki ditembak mati oleh pasukan yang
dinamai Angkatan Darat Kerajaan. Semua perempuan ditembak mati, padahal
Belanda negara demokratis. Semua anak ditembak mati, padahal tentara
Belanda mengaku tentara yang kristiani.
Desa Wamel pada tanggal 20 September 1944
diserbu tentara Jerman. 14 warga sipil tewas dibunuh secara keji oleh
tentara Jerman. Nampaknya dari peristiwa Wamel ini, sang veteran menulis
surat penyesalan tersebut.
Hujan yang mengguyur mengakibatkan
genangan darah membasahi desa tersebut. Yang tersisa hanya wanita dan
anak-anak. Keesokan harinya, setelah tentara Belanda meninggalkan desa
tersebut, para wanita menguburkan mayat-mayat dengan peralatan seadanya.
Seorang ibu menguburkan suami dan dua orang putranya yang berusia 12
dan 15 tahun. Mereka tidak dapat menggali lubang terlalu dalam, hanya
sekitar 50 cm saja. Untuk pemakaman secara Islam, yaitu jenazah ditutup
dengan potongan kayu, mereka terpaksa menggunakan daun pintu, dan
kemudian diurug tanah seadanya, sehingga bau mayat masih tercium selama
berhari-hari.
Kejahatan Perang
Pimpinan Republik kemudian mengadukan
peristiwa pembantaian ini kepada Committee of Good Offices for Indonesia
(Komisi Jasa Baik untuk Indonesia) dari PBB. Namun tindakan Komisi ini
hanya sebatas pada kritik terhadap aksi militer tersebut yang mereka
sebut sebagai “deliberate and ruthless”, tanpa ada sanksi yang tegas
atas pelanggaran HAM, apalagi untuk memandang pembantaian rakyat yang
tak bedosa sebagai kejahatan perang (war crimes).
Tahun 1969 atas desakan Parlemen Belanda,
Pemerintah Belanda membentuk tim untuk meneliti kasus-kasus
pelanggaran/penyimpangan yang dilakukan oleh tentara tentara kerajaan
Belanda (KL, Koninklijke Landmacht dan KNIL, Koninklijke
Nederlands-Indische Leger) antara tahun 1945 – 1950. Hasil penelitian
disusun dalam laporan berjudul “Nota betreffende het archievenonderzoek
naar gegevens omtrent excessen in IndonesiÄ— begaan door Nederlandse
militairen in de periode 1945-1950”, disingkat menjadi De Excessennota.
Laporan resmi ini disampaikan oleh Perdana Menteri de Jong pada 2 Juni
1969.
Dalam laporan De Excessen Nota yang
hampir 50 tahun setelah agresi militer mereka- tercatat bahwa yang
dibantai oleh tentara Belanda di Rawagede hanya sekitar 150 jiwa. Juga
dilaporkan, bahwa Mayor yang bertanggungjawab atas pembantaian tersebut,
demi kepentingan yang lebih tinggi, tidak dituntut ke pengadilan
militer.
Di Belanda sendiri, beberapa kalangan
dengan tegas menyebutkan, bahwa yang dilakukan oleh tentara Belanda pada
waktu itu adalah kejahatan perang (oorlogs-misdaden) dan hingga
sekarang masih tetap menjadi bahan pembicaraan, bahkan film dokumenter
mengenai pembantaian di Rawagede ditunjukkan di Australia. Anehnya, di
Indonesia sendiri film dokumenter ini belum pernah ditunjukkan.
Pada 15 Desember 2005, Batara R.
Hutagalung, Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda dan Laksamana Pertama
TNI (Purn.) Mulyo Wibisono, Ketua Dewan Penasihat KUKB bersama aktifis
KUKB di Belanda diterima oleh Bert Koenders, juru bicara Fraksi Partij
van de Arbeit (PvdA) di gedung parlemen Belanda di Den Haag.
KUKB menyampaikan petisi yang ditujukan
kepada Pemerintah Belanda, serta mewakili para janda korban pembantaian
di Rawagede untuk menyampaikan tuntutan para janda dan keluarga korban
pembantaian atas kompensasi dari Pemerintah Belanda. Pada 15 Agustus
2006, KUKB bersama beberapa janda dan korban yang selamat dari
pembantaian di Rawagede melakukan demonstrasi di depan Kedutaan Belanda
di Jakarta, dan menyampaikan lagi tuntutan kepada Pemerintah Belanda.
Parlemen Belanda cukup responsif dan
cukup terbuka mengenai pelanggaran HAM yang telah dilakukan oleh tentara
Belanda antara 1945 – 1950, walaupun kemudian belum ada sanksi atau
tindakan hukum selanjutnya. Juga tidak pernah dibahas, mengenai
kompensasi bagi para korban dan keluarga korban yang tewas dalam
pembantaian akibat agresi militer, yang baru pada 16 Agustus 2005 diakui
oleh Menlu Belanda, bahwa agresi militer tersebut telah menempatkan
Belanda pada sisi sejarah yang salah.
Pemerintah Belanda Dinyatakan Bersalah
Tujuh janda korban pembantaian, satu anak
perempuan korban, dan seorang lelaki penyintas (survivor) lantas
menggugat pemerintah Belanda atas kejadian di tahun 1947 itu. Jaksa
pemerintah Belanda berpendapat tuntutan mereka kadaluwarsa.
Pada 14 September 2011, Pengadilan Den
Haag menyatakan pemerintah Belanda bersalah dan harus bertanggung jawab
serta diperintahkan untuk membayar kompensasi bagi korban dan
keluarganya.
Sumber_aticle: Wikipedia Bahasa Indonesia.